gurumesin.my.id. Di sebuah ruang kelas yang pencahayaannya selalu sedikit redup karena satu lampu tak pernah diganti, seorang guru menatap setumpuk kertas ulangan. Angka-angka tertulis rapi di pojok kanan atas: 80, 75, 60, 90. Ia menandai, memberi lingkaran, memberi garis. Tapi tiba-tiba ia berhenti dan bertanya pada dirinya sendiri: Apakah angka-angka ini benar-benar bercerita tentang apa yang dipahami siswa? Pertanyaan yang sederhana, tapi cukup membuat sebuah kelas terasa berubah.
Assessment—atau penilaian—sering kali seperti ritual. Guru membuat soal, siswa menjawab, nilai muncul, dan semua merasa sudah menjalankan tugas masing-masing. Tetapi pembelajaran mendalam tidak pernah cocok dengan ritual seperti itu. Ia tidak meminta siswa sekadar menjawab dengan cepat, tetapi berpikir dengan lebih lambat. Lebih dalam. Lebih jujur.
Dalam pembelajaran mendalam, penilaian bukan akhir, tetapi jendela. Jendela untuk melihat bagaimana pikiran siswa bergerak. Bagaimana mereka menyusun alasan. Bagaimana mereka keliru, lalu mencoba memperbaiki kekeliruannya. Dan jendela seperti itu tidak bisa dibuka hanya dengan soal pilihan ganda.
Guru perlu jenis penilaian lain—penilaian yang mengundang cerita. Misalnya, meminta siswa menjelaskan proses mereka menemukan jawaban. Tidak penting apakah jawabannya benar atau salah; yang penting adalah bagaimana mereka sampai di sana. Kadang jawaban yang salah justru lebih jujur, lebih hidup, dan lebih menggambarkan dunia batin seorang siswa dibanding angka 100 yang sunyi.
Penilaian dalam pembelajaran mendalam juga bisa hadir dalam bentuk dialog. Sebuah percakapan sederhana tentang apa yang siswa pahami, apa yang membuat mereka bingung, atau apa yang mereka temukan di luar buku. Percakapan yang hanya berlangsung lima menit bisa memberikan gambaran lebih kaya daripada delapan soal esai yang dikerjakan terburu-buru.
Dan tentu saja, ada refleksi—bagian yang sering dianggap tambahan, tapi sebenarnya inti. Saat siswa diminta menuliskan apa yang mereka pelajari hari itu, guru sedang membaca jejak pemahaman yang tidak selalu terlihat di atas meja. Ada siswa yang masih meraba-raba konsep; ada yang menemukan keterkaitan; ada yang baru menyadari sesuatu yang sangat kecil tapi penting.
Penilaian seperti ini memang membutuhkan waktu. Membutuhkan kesabaran. Membutuhkan guru yang percaya bahwa pemahaman tidak bisa diburu seperti lomba lari 100 meter. Namun ketika dilakukan, penilaian itu memberi hadiah: guru akhirnya benar-benar mengetahui apa yang ada di dalam kepala siswa—bukan hanya angka yang tertulis di raport.
Dan mungkin, itulah tujuan pendidikan yang sebenarnya: bukan mencari nilai, tetapi menemukan pemahaman.
Posting Komentar untuk "Assessment dalam Pembelajaran Mendalam : Cara Menilai Pemahaman yang Sesungguhnya"